Merawang, Bangka - Ratusan ponton penambangan timah ilegal diperkirakan akan beroperasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Desa Jade Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, mulai Senin (22/9/2025). Aktivitas penambangan liar ini, yang menggunakan ponton apung, diduga disponsori oleh seorang kolektor timah berinisial Kamal dan melibatkan oknum dari Denpom.
Menurut AK (42), warga Jade Bahrin, kegiatan penambangan timah ini telah terkoordinasi dengan rapi, melibatkan oknum anggota PM yang melakukan penjagaan hingga oknum yang mengaku sebagai wartawan. "Ada wartawan juga di sini, dapat jatah Rp2.000 per kilogram, namanya Candra. Sementara dari oknum TNI-nya namanya Ast," ungkap AK.
AK menambahkan bahwa Kamal diduga merupakan kaki tangan dari seorang bos alat berat terbesar di Kabupaten Bangka, berinisial Hfu. "Ini semua Hfu yang atur, tapi tidak tahu benar atau tidaknya, semua itu Kamal yang tahu. Karena di lapangan yang beli timahnya Kamal dengan harga Rp135 ribu ke penambang," jelasnya.
Pantauan tim media ini menunjukkan deretan ponton memenuhi aliran sungai. Suara mesin penyedot pasir timah terdengar nyaring, menandakan aktivitas tambang berlangsung tanpa rasa khawatir, meskipun statusnya jelas ilegal.
Selain AK, AM, warga Jade Bahrin lainnya, mengungkapkan ada dua nama lain yang terlibat di lokasi yang sama, yaitu Milui dan Rungul, serta grup baru bernama Buyung yang merupakan warga Kabupaten Bangka. "Yang nampung timah itu ada Milui sama Rungul, nanti juga ada grup baru Buyung. Harga yang dibeli sekitar Rp135 ribu per kilogram. Jadi penambang langsung setor ke mereka," jelas AM.
Aktivitas tambang apung di sungai ini dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Selain merusak ekosistem perairan, Sungai Jada Bahrin, yang dikenal sebagai habitat buaya, semakin rawan konflik. Sedimentasi akibat pengerukan timah juga berpotensi mencemari air sungai yang sehari-hari dimanfaatkan warga untuk mencari ikan, kepiting, dan udang.
Keberadaan ratusan ponton di aliran sungai sangat mencolok dan mengganggu aktivitas nelayan, termasuk warga luar Jade Bahrin yang sering memanfaatkan sungai untuk memancing udang.
Masyarakat berharap pemerintah daerah bersama aparat segera turun tangan. "Kalau dibiarkan terus, bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi juga bisa timbul konflik sosial, bahkan konflik antara buaya dan manusia," tutupnya.
Social Footer